Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah,
21
April 1879 – meninggal di Rembang, Jawa Tengah,
17
September 1904 pada umur 25 tahun) atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini
adalah seorang tokoh suku Jawa
dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.
Biografi
Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario
Sosroningrat, Bupati Jepara.
Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama
M.A. Ngasirah, putri dari Nyai
Haji Siti Aminah dan Kyai
Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya,
silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana
VI.
Ayah
Kartini pada mulanya adalah seorang Wedana di Mayong.
Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang Bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah
bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng
Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka
ayah Kartini diangkat menjadi Bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah
kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini
adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara
sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario
Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai
usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain
Kartini belajar bahasa Belanda.
Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa
dipingit.
Karena
Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan
menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan
majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul
keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa
perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Kartini
banyak membaca surat kabar Semarang De
Locomotief yang diasuh Pieter
Brooshooft, ia juga menerima leestrommel
(paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya
terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada
majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian
beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie.
Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian,
sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu
karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata
soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat
perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum
sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini
sebelum berumur 20, terdapat judul Max
Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan
Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi,
karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, Roman-feminis karya Nyonya
Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von
Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa
Belanda.
Oleh
orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah
pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12
November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi
kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang
kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan
sebagai Gedung Pramuka.
Anak
pertama dan sekaligus terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada tanggal 13
September 1904. Beberapa hari kemudian, 17
September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan
di Desa Bulu, Kecamatan Bulu,
Rembang.
Berkat
kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini
di Semarang pada 1912,
dan kemudian di Surabaya,
Yogyakarta, Malang,
Madiun, Cirebon
dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van
Deventer, seorang tokoh Politik
Etis.
Surat-Surat
Setelah
Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon
mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada
teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri
Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia
Belanda. Buku itu diberi judul Door
Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju
Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan
terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
Pada
tahun 1922, Balai Pustaka
menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi Habis
Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan terjemahan oleh Empat
Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap
Terbitlah Terang versi Armijn
Pane seorang sastrawan Pujangga
Baru. Armijn membagi buku menjadi lima
bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang
waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali.
Surat-surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes
L. Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam
bahasa-bahasa Jawa dan Sunda.
Terbitnya
surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian
masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan
masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran
Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi
tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia, antara lain W.R. Soepratman
yang menciptakan lagu berjudul Ibu Kita Kartini.
Pemikiran
Pada
surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat
itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya
berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang
sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan
menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti
tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf-
vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua
itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan,
Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat
Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada
perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap
keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan
perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku
sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan
harus bersedia dimadu.
Pandangan-pandangan
kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik
terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan
dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan
bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan
manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama
harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa
diperbuat orang atas nama agama itu..." Kartini mempertanyakan tentang
agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi
Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas
tembok rumah.
Surat-surat
Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika
bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang
ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya
meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup.
Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang
ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan
cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia
disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan
studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.
Keinginan
Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam
surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan
keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang
hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat
penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke
Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik
bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Pada
pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan
studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya
Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah.
"...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan
kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..." Padahal saat itu
pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini
dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
Saat
menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa.
Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan
tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan
bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami
tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan
sekolah bagi perempuan bumiputra
saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan
pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan
menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir
mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban
untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah
dengan Adipati Rembang.
Buku
Habis Gelap Terbitlah Terang
Pada 1922, oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa
Melayu dengan judul Habis Gelap
Terbitlah Terang; Boeah Pikiran. Buku ini diterbitkan oleh Balai
Pustaka. Armijn
Pane, salah seorang sastrawan pelopor Pujangga
Baru, tercatat sebagai salah seorang
penerjemah surat-surat Kartini ke dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Ia
pun juga disebut-sebut sebagai Empat Saudara.
Pada 1938, buku Habis Gelap
Terbitlah Terang diterbitkan kembali dalam format
yang berbeda dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht.
Buku terjemahan Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu,
surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa
Jawa dan bahasa
Sunda. Armijn Pane menyajikan surat-surat
Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi kumpulan
surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Pembagian tersebut ia
lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan atau perubahan sikap dan pemikiran
Kartini selama berkorespondensi. Pada buku versi baru tersebut, Armijn Pane
juga menciutkan jumlah surat Kartini. Hanya terdapat 87 surat Kartini dalam
"Habis Gelap Terbitlah Terang". Penyebab tidak dimuatnya keseluruhan
surat yang ada dalam buku acuan Door Duisternis Tot Licht, adalah terdapat
kemiripan pada beberapa surat. Alasan lain adalah untuk menjaga jalan cerita
agar menjadi seperti roman. Menurut Armijn Pane, surat-surat Kartini dapat
dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini pula yang menjadi salah
satu penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke dalam lima bab pembahasan.
Surat-surat
Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya
Surat-surat Kartini juga
diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno. Pada mulanya Sulastin menerjemahkan Door Duisternis Tot
Licht di Universitas Leiden,
Belanda, saat ia melanjutkan studi di bidang sastra tahun 1972. Salah seorang dosen pembimbing di Leiden meminta Sulastin
untuk menerjemahkan buku kumpulan surat Kartini tersebut. Tujuan sang dosen
adalah agar Sulastin bisa menguasai bahasa Belanda dengan cukup sempurna.
Kemudian, pada 1979, sebuah buku berisi terjemahan Sulastin Sutrisno versi
lengkap Door Duisternis Tot Licht pun terbit.
Buku kumpulan surat versi Sulastin
Sutrisno terbit dengan judul Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk
Bangsanya. Menurut Sulastin, judul terjemahan seharusnya menurut bahasa
Belanda adalah: "Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsa
Jawa". Sulastin menilai, meski tertulis Jawa, yang didamba sesungguhnya
oleh Kartini adalah kemajuan seluruh bangsa Indonesia.
Buku terjemahan Sulastin malah ingin
menyajikan lengkap surat-surat Kartini yang ada pada Door Duisternis Tot
Licht. Selain diterbitkan dalam Surat-surat Kartini, Renungan Tentang
dan Untuk Bangsanya, terjemahan Sulastin Sutrisno juga dipakai dalam buku Kartini,
Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan Suaminya.
Letters
From Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904
Buku lain yang berisi terjemahan
surat-surat Kartini adalah Letters from Kartini, An Indonesian Feminist
1900-1904. Penerjemahnya adalah Joost Coté. Ia tidak hanya menerjemahkan
surat-surat yang ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi Abendanon. Joost Coté juga menerjemahkan seluruh surat asli Kartini pada Nyonya
Abendanon-Mandri hasil temuan terakhir. Pada buku terjemahan Joost Coté, bisa
ditemukan surat-surat yang tergolong sensitif dan tidak ada dalam Door
Duisternis Tot Licht versi Abendanon. Menurut Joost Coté, seluruh
pergulatan Kartini dan penghalangan pada dirinya sudah saatnya untuk diungkap.
Buku Letters from Kartini, An
Indonesian Feminist 1900-1904 memuat 108 surat-surat Kartini kepada Nyonya
Rosa Manuela Abendanon-Mandri dan suaminya JH Abendanon. Termasuk di dalamnya:
46 surat yang dibuat Rukmini, Kardinah, Kartinah, dan Soematrie.
Panggil
Aku Kartini Saja
Selain berupa kumpulan surat, bacaan
yang lebih memusatkan pada pemikiran Kartini juga diterbitkan. Salah satunya
adalah Panggil
Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer. Buku Panggil Aku Kartini Saja terlihat merupakan
hasil dari pengumpulan data dari berbagai sumber oleh Pramoedya.
Kartini
Surat-Surat Kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan Suaminya
Akhir tahun 1987, Sulastin Sutrisno memberi gambaran baru tentang Kartini lewat buku Kartini
Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya. Gambaran sebelumnya
lebih banyak dibentuk dari kumpulan surat yang ditulis untuk Abendanon,
diterbitkan dalam Door Duisternis Tot Licht.
Kartini dihadirkan sebagai pejuang
emansipasi yang sangat maju dalam cara berpikir dibanding perempuan-perempuan
Jawa pada masanya. Dalam surat tanggal 27
Oktober 1902, dikutip bahwa Kartini menulis pada Nyonya Abendanon bahwa
dia telah memulai pantangan makan daging, bahkan sejak beberapa tahun sebelum
surat tersebut, yang menunjukkan bahwa Kartini adalah seorang vegetarian. Dalam kumpulan itu, surat-surat Kartini selalu dipotong
bagian awal dan akhir. Padahal, bagian itu menunjukkan kemesraan Kartini kepada
Abendanon. Banyak hal lain yang dimunculkan kembali oleh Sulastin Sutrisno.
Aku
Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella
Zeehandelaar 1899-1903
Sebuah buku kumpulan surat kepada
Stella Zeehandelaar periode 1899-1903 diterbitkan untuk memperingati 100 tahun
wafatnya. Isinya memperlihatkan wajah lain Kartini. Koleksi surat Kartini itu
dikumpulkan Dr Joost Coté, diterjemahkan dengan judul Aku Mau ... Feminisme
dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903.
"Aku Mau ..." adalah moto
Kartini. Sepenggal ungkapan itu mewakili sosok yang selama ini tak pernah
dilihat dan dijadikan bahan perbincangan. Kartini berbicara tentang banyak hal:
sosial, budaya, agama, bahkan korupsi.
Kontroversi
Ada
kalangan yang meragukan kebenaran surat-surat Kartini. Ada dugaan J.H.
Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa
surat-surat Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit
saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik
etis di Hindia
Belanda, dan Abendanon termasuk yang
berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar
naskah asli surat tak diketahui keberadaannya. Menurut almarhumah Sulastin
Sutrisno, jejak keturunan J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah
Belanda.
Penetapan
tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga agak diperdebatkan. Pihak
yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari
Kartini saja, namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22
Desember. Alasan mereka adalah agar tidak
pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya, karena masih ada
pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini seperti Cut
Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu,Dewi Sartika
dan lain-lain.Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara
dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah.
Sikapnya yang pro terhadap poligami juga bertentangan dengan pandangan kaum
feminis tentang arti emansipasi wanita. Dan berbagai alasan lainnya. Pihak yang
pro mengatakan bahwa Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang
mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja, melainkan adalah tokoh nasional;
artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk
kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional.
Peringatan
Presiden
Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108
Tahun 1964, tanggal 2 Mei
1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan
Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk
diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Nama jalan di Belanda
·
Utrecht:
Di Utrecht Jalan R.A. Kartini atau Kartinistraat
merupakan salah satu jalan utama, berbentuk 'U' yang ukurannya lebih besar
dibanding jalan-jalan yang menggunakan nama tokoh perjuangan lainnya seperti Augusto Sandino, Steve Biko, Che Guevara,
Agostinho Neto.
·Venlo: Di Venlo Belanda Selatan, R.A. Kartinistraat berbentuk 'O' di kawasan Hagerhof, di
sekitarnya terdapat nama-nama jalan tokoh wanita Anne
Frank dan Mathilde Wibaut.
·
Amsterdam:
Di wilayah Amsterdam Zuidoost atau yang lebih dikenal dengan Bijlmer, jalan Raden Adjeng
Kartini ditulis lengkap. Di sekitarnya adalah nama-nama wanita dari
seluruh dunia yang punya kontribusi dalam sejarah: Rosa
Luxemburg, Nilda Pinto, Isabella Richaards.
·
Haarlem:
Di Haarlem jalan Kartini berdekatan dengan jalan Mohammed
Hatta, Sutan
Sjahrir dan langsung tembus ke jalan Chris
Soumokil presiden kedua Republik Maluku
Selatan.
Kontroversi
RA Kartini
Berikut ini adalah beberapa kontroversi yang
menjadi pertanyaan banyak kalangan akan sosok RA Kartini;
Kontroversi-1.
Keaslian pemikiran RA Kartini dalam
surat-suratnya diragukan. Ada dugaan bahwa J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan,
Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda saat itu, melakukan editing atau merekayasa
surat-surat Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit
saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda,
dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga
saat ini pun sebagian besar naskah asli surat tak diketahui keberadaannya. Kita
hanya disuguhi tulisan-tulisan yang bersumber dari buku yang diterbitkan oleh
Abendanon semata.
Kontroversi-2.
RA Kartini dianggap tidak konsiten dalam
memperjuangkan pemikiran akan nasib perempuan Jawa. Dalam banyak tulisannya
beliau selalu mempertanyakan tradisi Jawa (dan agama Islam) yang dianggap
menghambat kemajuan perempuan seperti tak dibolehkan bersekolah, dipingit
ketika mulai baligh, dinikahkan dengan laki-laki tak dikenal, menjadi korban
poligami. Kartini juga mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran
bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan
perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah dan tersedia untuk
dimadu pula. Namun demikian, bertolak belakang dengan pemikirannya, RA Kartini
rupanya menerima untuk dinikahkan (bahkan dipoligami) dengan bupati Rembang,
Raden Adipati Joyodiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini
menikah pada tanggal 12 November 1903, pada usia 24 tahun. Pada saat menjelang
pernikahan, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi
lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam
mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu.
Kontroversi-3.
RA Kartini dianggap hanya berbicara untuk ruang
lingkup Jawa saja, tak pernah menyinggung suku atau bangsa lain di
Indonesia/Hindia Belanda. Pemikiran-pemikirannya dituangkan dalam rangka
memperjuangan nasib perempuan Jawa, bukan nasib perempuan secara keseluruhan.
Walaupun demikian ide-idenya dianggap menyeluruh secara nasional karena
mengandung sesuatu yang universal.
Kontroversi-4.
Tidak jelas persinggungan RA Kartini dengan
perlawanan melawan penjajahan Belanda seperti umumnya pahlawan yang kita kenal.
Tak pernah terlihat dalam tulisan dan pemikirannya adanya keinginan RA Kartini
untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda saat itu, apalagi
membopong senjata sebagaimana Pahlawan Wanita lainnya seperti; Laksamana
Malahayati, Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, Emmy Saelan atau Christina Martha
Tiahahu.
Kontroversi-5.
Dari sudut pandang sejarah, pemikiran RA Kartini
dalam emansipasi wanita lebih bergaung daripada tokoh wanita lainnya asal
Sunda, Raden Dewi Sartika, walaupun langkah gerak Dewi Sartika justru lebih
progressif. RA Kartini lebih terkenal dengan pemikiran-pemikiran nya, sedang
Dewi Sartika tak hanya giat berpikir, tapi juga mengimplementasikan
pemikirannya ke gerak nyata dalam masyarakat dengan mendirikan sekolah khusus
putri, Sekolah Kaoetamaan Istri pada tahun 1902. So, siapa sebenarnya yang
lebih patut untuk dihargai, RA Kartini atau Dewi Sartika? Hanya terbatas
pemikiran atau gerak nyata?
Kontroversi-6.
Penetapan tanggal kelahiran RA Kartini 21 April
sebagai hari besar juga diperdebatkan karena terkesan terlalu melebih-lebihkan
sosok beliau, sementara masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat
dengan Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di
Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan
penjajah. Mereka mengusulkan untuk merayakan Hari Perempuan secara umum pada
tanggal 22 Desember.
Namun demikian, terlepas dari berbagai
kontroversi diatas, kita tetap harus mengakjui bahwasanya RA Kartini tidak
hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita
Indonesia saja, melainkan adalah tokoh nasional artinya, dengan ide dan gagasan
pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya.
Kontroversi
Sejarah, R.A.Kartini Pahlawan Wanita Bikinan Belanda
Tulisan ini tidak bermaksud
mengecilkan jasa-jasa seorang R.A. Kartini yang turut membangkitkan semangat
kaum wanita Indonesia untuk maju. Juga tidak merendahkan penghargaan gelar
pahlawan kepada beliau oleh pemerintah. Tapi hanya ingin menyadarkan kita
bahwa tidak sepenuhnya sejarah itu mutlak benar, dan apa-apa yang kita yakini
kebenarannya saat ini bisa saja sebuah kekeliruan yang harus dikoreksi.
Bermula di tahun 1970-an, ketika
itu guru besar Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar
mengkritik “pengkultusan” R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional
Indonesia. Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta Pustaka
Sinar Harapan, 1990 cetakan ke-4), Harsja W. Bachtiar menulis sebuah artikel
berjudul: Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita. Tulisan ini
bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. Kita mengambil alih Kartini
sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang
Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian
kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut; tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan
doktor sosiologisnya di Harvard University.
Harsja juga menggugat dengan
halus, kenapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita
Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah
Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan
Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi
Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku
Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978),
terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini
masuk dalam buku tersebut. Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu
sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat
pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain bahasa Aceh dan
Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa
pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah
lahir karya-karya besar dari Nurudddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur
Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri
di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas
perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup
lama, yaitu tahun 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik
untuk pria maupun wanita.
Tokoh wanita kedua yang disebut
Harsja Bachtiar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya
dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam
kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi
Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang
mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat
sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah
pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk
anak-anak pria maupun wanita.
Penelusuran Prof. Harsja W.
Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini
memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar
kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan
Asisten-Residen Ovink suami-istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje,
penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur
Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada
Kartini tiga bersaudara.
Harsja menulis tentang kisah
ini. Abendanon mengunjungi Kartini tiga bersaudara dan kemudian menjadi
sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain,
istri ajudan Gubernur Jendral Belanda, pada suatu resepsi di Istana Bogor,
suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak. Ringkasnya,
Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis
gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini
kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai
perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. Van Kol dan
penganjur Haluan Etika, C.Th. Van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan
Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.
Lebih dari enam tahun setelah
Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan
kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot
Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of
a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbut terjemahan dalam
bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran
(1922, terjemahan Empat Saudara). Dua tahun setelah penerbitan buku
Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang
memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni
1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C. Th. Van
Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini,
serta ide-idenya pada orang-orang Belanda. Harsja Bachtiar kemudian
mencatat; Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri,
dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak
akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan
Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun
tindakan-tindakan mereka.
J.H. Abendanon, Menteri
Yang Menulis Buku
J.H. Abendanon (1852-1925)
adalah Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda dari tahun
1900-1905. Ia datang ke Hindia-Belanda pada tahun 1900 dan ditugaskan oleh
Belanda untuk melaksanakan Politik Etis. Karena baru di Hindia-Belanda,
Abendanon tidak mengetahui keadaan masyarakat Hindia-Belanda dan tidak paham
bagaimana dan dari mana ia memulai programnya. Untuk keperluan itu, Abendanon
banyak meminta nasihat dari teman sehaluan politiknya, Snouck Hurgronje,
seorang orientalis yang terkenal sebagai arsitek perancang kemenangan
Hindia-Belanda dalam Perang Aceh.
Di bawah Abendanon, sejak tahun
1900 mulai berdiri sekolah-sekolah baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa
yang hampir merata di daerah-daerah. Pada tahun ini sekolah Hoofdenscholen
(sekolah para kepala) yang lama diubah menjadi sekolah yang direncanakan untuk
menghasilkan pegawai-pegawai pemerintahan dan diberi nama baru OSVIA (Opleiding
School Voor Inlandsche Ambtenaren).
J.H. Abendanon kemudian dikenal
sebagai salah satu teman koresponden Kartini dan dialah yang menulis buku
berjudul Door Duisternis tot Licht yang diterjemahkan oleh Armyn Pane
menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku Door Duisternis tot Licht
di terbitkan tahun 1911 oleh pemerintah Belanda. Buku ini dicetak sebanyak
lima kali, dan anehnya pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
(Wikipedia)
Snouck Hurgronje dan
Sepak Terjangnya
Di atas disebutkan peran Snouck
Hurgronje sebagai teman bertukar pikiran J.H. Abendanon dalam menjalankan
politik etis. Siapa Cristiaan Snouck Hurgronje pasti pembaca sudah banyak
yang mengetahuinya. Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) adalah seorang
pendeta Protestan seperti halnya ayah, kakek, dan kakek buyutnya. Sejak
kecilnya Snouck sudah diarahkan pada bidang teologi. Tamat sekolah
menengah, dia melanjutkan ke Universitas Leiden untuk mata kuliah Ilmu Teologi
dan Sastra Arab di tahun 1875. Lima tahun kemudian, dia tamat dengan
predikat cum laude dengan disertasi Het Mekaansche Feest
(Perayaan di Mekah). Tak cukup bangga dengan kemampuan bahasa Arabnya,
Snouck kemudian melanjutkan pendidikan ke Mekkah tahun 1884. Di Mekkah,
keramahannya dan naluri intelektualnya membuat para ulama tak segan
membimbingnya. Dan untuk kian merebut hati ulama Mekkah, Snouck memeluk Islam
dan berganti nama menjadi Abdul Ghaffar.
Namun, pertemuan Snouck dengan
Habib Abdurrachman Az-Zahir, seorang keturunan Arab yang pernah menjadi wakil
pemerintahan Aceh, kemudian berhasil “dibeli” oleh Belanda dan dikirim ke
Mekkah, mengubah minatnya. Atas bantuan Zahir dan Konsul Belanda di
Jeddah, JA Kruyt, dia mulai mempelajari politik kolonial dan upaya untuk
memenangi pertempuran di Aceh. Setelah saran-sarannya tak
ditanggapi Gubernur Belanda di Nusantara, Habib Zahir yang kecewa menyerahkan
semua naskah penelitiannya kepada Snouck yang saat itu, tahun 1886, telah
menjadi dosen di Leiden.
Snouck seperti mendapat durian
runtuh. Naskah itu dia berikan pada kantor Menteri Daerah Jajahan Belanda (Ministerie
van Kolonieën). Snouck bahkan secara berani menawarkan diri sebagai tenaga
ilmuwan yang akan dapat memberikan gambaran lebih lengkap tentang Aceh.
Pada 1889, dia menginjakkan kaki
di pulau Jawa, dan mulai meneliti pranata Islam di masyarakat pribumi
Hindia-Belanda, khususnya Aceh. Setelah Aceh dikuasai Belanda, 1905, Snouck
mendapat penghargaan yang luar biasa. Setahun kemudian dia kembali ke Leiden,
dan sampai wafatnya tanggal 26 Juni 1936, dia tetap menjadi penasehat utama
Belanda untuk urusan penaklukan pribumi di Nusantara. (Wikipedia).
Melalui bukunya, Snouck
Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Giriukti Pusaka, dengan judul Snouck
Hurgronje dan Islam tahun 1989) P.Sj. Van Koningsveld memaparkan sosok dan
kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk menaklukan
Islam. Untuk mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang
menjadi murid Syekh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan
diri sebagai seorang Muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Gaffar
seperti disebutkan di atas. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid
para ulama Mekkah. Posisi dan pengalamannya ini nantinya memudahkan
langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di
Indonesia.
Menurut Van Koningsveld,
pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouk dalam penyamarannya
sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini
sebagai ulama. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai Mufti Hindia
Belanda. Juga ada yang memanggilnya Syaikhul Islam Jawa. Padahal,
Snouck sendiri menulis tentang Islam; Sesungguhnya agama ini meskipun cocok
untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat
berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun
tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya (hal 116).
Dalam bukunya, Politik Islam
Hindia Belanda (Jakarta, LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar
pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial
Belanda. Salah satu strateginya adalah melakukan pembaratan kaum elite
pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari
Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah
mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak
akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka.
Politik Etis,
Balas Budi Belanda Atau Perlawanan Terhadap Syiar Islam?
Sebelumnya telah disinggung
mengenai Poltik Etis sebagai program pemerintah Belanda yang harus dijalankan
oleh J.H. Abendanon sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia
Belanda.
Politik Etis atau Politik Balas
Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang
tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik
terhadap politik tanam paksa yang diterapkan sebelumnya. Dengan dipelopori
oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van
Deventer (seorang politikus), pemikiran ini diterima oleh pemerintah kolonial
seperti disebutkan dalam pidato Ratu Wilhelmina pada tanggal 17 September 1901,
pada saat baru naik tahta di pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah
Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld)
terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan
moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias
Politika yang meliputi:
1. Irigasi (pengairan),
membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan
pertanian
2. Emigrasi yakni mengajak
penduduk untuk transmigrasi
3. Memperluas dalam bidang
pengajaran dan pendidikan (edukasi).
Namun sayangnya, penjajah
tetaplah penjajah, niat baik dari penggagas politik etis ini dimanfaatkan oleh
pemerintah kolonial untuk memperkuat cengkeraman kuku-kuku penjajahannya di
bumi Nusantara. Kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah
Belanda dengan membangun irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan
transmigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah perkebunan Belanda
untuk dijadikan pekerja rodi.
Hanya pendidikan yang berarti
bagi bangsa Indonesia, namun ini pun dilakukan dengan memaksakan pemikiran dan
budaya Barat ke dalam jiwa orang pribumi dan mencoba menyingkirkan cara pandang
Islam yang sudah terlebih dulu tumbuh di sanubari orang Jawa.
Pakar sejarah Melayu, Prof.
Naquib Al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari
orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan
Nusantara. Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu
(Bandung: Mizan, 1990, cet.Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah
ini; Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan
ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada
akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis
selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam
di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih
berlaku sampai dewasa ini.
Apa Hubungan Kartini
Dengan Snouck Hugronje?
Dalam sejumlah suratnya kepada
Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama
Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Belanda itu
sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya
kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis;
Salam, Bidadariku yang manis dan
baik! … Masih ada lagi satu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada
Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje,
sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut; Apalah dalam agama
Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang
bangsa Barat? Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya
kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan
kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya. (Buku: Surat-surat kepada Ny.
R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, penerjemah: Sulastin Sutrisno, Jakarta:
Penerbit Djambatan, 2000, hal 234-235).
Pemahaman Agama Islam
Kartini Yang Dangkal
Walaupun kakeknya (ayah ibunya,
Kyai Haji Madirono, adalah seorang ulama dan guru agama, ternyata pemahamannya
tentang agama Islam masih sangat dangkal. Salah satu sebabnya, seperti
diakui sendiri oleh Kartini dalam suratnya kepada nona Zeehandelaar, 6 Nopember
1899, adalah pemahamannya tentang Alquran yang sangat kurang karena tidak mengerti
isinya.
Lagi pula, sebenarnya
agamaku agama Islam, hanya karena nenek moyangku beragama Islam. Manakah
boleh aku cinta akan agamaku, kalau aku tiada kenal, tiada boleh aku
mengenalnya? Qur’an terlalu suci, tiada boleh diterjemahkan ke dalam
bahasa mana jua pun. Di sini tiada orang yang tahu bahasa Arab. Orang
diajar di sini membaca Qur’an, tetapi yang dibacanya itu tiada ia
mengerti. Piiranku, pekerjaan gilakah pekerjaan semacam itu, orang diajar
di sini membaca, tetapi tidak diajarkan makna yang dibacanya itu. Sama
saja engkau mengajar aku membaca kitab bahasa Inggris, aku harus hafal
semuanya, sedangkan tiada sepatah kata jua pun yang kau terangkan artinya
kepadaku. Sekalipun tiada jadi orang saleh,kan boleh juga orang jadi orang
baik hati, bukan Stella?
Di bagian lain dari surat
itu Kartini menulis:
Ya, Tuhanku, ada kalanya aku
berharap, alangkah baiknya jika tidak ada agama itu, karena agama itu, yang
sebenarnya harus mempersatukan semua hamba Allah, sejak dari dahulu-dahulu
menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, jadi sebab perkelahian
berbunuh-bunuhan yang sangat ngeri dan bengisnya.
Keinginan Kartini yang luar
biasa untuk bertemu dan berdiskusi dengan Snouck Hurgronje dan kekagumannya
dengan sosok orientalis Belanda tersebut, maka tidak tertutup kemungkinan
pemikiran Kartini sudah dipengaruhi secara luas oleh pemikiran Snouck yang
sebetulnya sangat ingin menjauhkan Islam dari kehidupan orang
pribumi. Seperti kebencian Kartini dengan poligami dan lembaga perkawinan,
seperti disebutkan pada suratnya kepada nona Zeehandelaar.
Meskipun seribu kali orang
mengatakan, beristri empat itu bukan dosa menurut hukum Islam, tetapi aku,
tetap selama-lamanya aku mengatakan itu dosa.
Mengertikah engkau sekarang
apakah sebabnya maka sesangat itu benar benciku akan perkawinan? Kerja
yang serendah-rendahnya maulah aku mengerjakannya dengan berbesar hati dan
dengan sungguh-sungguh, asalkan aku tiada kawin, dan aku bebas. Tetapi,
tiada suatu jua pun boleh dikerjakan, karena menilik kedudukan Bapak.
Keraguan Atas Surat-Surat Kartini
Secara umum surat-surat R.A.
Kartini kepada teman-teman korespondensinya hanya diketahui dari buku J.H.
Abendanon. J.H. Abendanon dan istrinya mengaku sebagai salah satu teman
korespondensi Kartini, dimana beberapa surat Kartini yang ditujukan kepadanya
dan istrinya juga turut dipublikasikan di dalam bukunya itu. Namun sampai
sekarang, sebagian besar naskah asli surat-surat Kartini yang dijadikan bahan
penulisan buku tersebut maupun jejak J.H. Abendanon sendiri sebagai penulis dan
keturunannya belum ditemukan, sehingga ada dugaan sebagian surat-surat Kartini
atau isinya direkayasa oleh J.H. Abendanon. Kecurigaan ini timbul karena
memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan
politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan
mendukung politik etis.
Layakkah Kartini Sebagai Pahlawan Indonesia?
Seperti halnya beberapa warisan
kolonial Belanda lainnya yang sampai sekarang masih dipertahankan dan dijadikan
acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, seperti peraturan
perundangan-undangan dan hukum, maka kepahlawanan seorang R.A. Kartini ini
sepenuhnya menjadi tanggung jawab kita sebagai bangsa, apakah akan terus
dipertahankan atau dikoreksi keberadaannya.
Kalau dibaca secara mendalam
surat-suratnya itu, maka Kartini adalah seorang wanita yang tertekan dengan
budaya Jawa dan keislamannya, dan ingin melarikan diri dari padanya. Penyesalannya
terlahir sebagai anak gadis Jawa terekam dalam suratnya kepada Nyonya
Ovink-Soer (Awal tahun 1900):
Aduh alangkah pedihnya,
sedihnya rasa hatiku. Sangat sengsaranya menjadi seorang anak gadis Jawa,
sedang dia ada berperasaan halus. Ibu bapakku, kasihan, kasihan, nasib
celaka manakah yang memberikan kami ini kepadanya jadi anaknya?
sumber : www.wikimu.com
Keyakinan
Kartini Dalam Sorotan
Artawijaya
Penulis buku Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara dan
Gerakan Theosofi di Indonesia, Jakarta:Pustaka Al-Kautsar
Bagaimana sesungguhnya keyakinan Kartini soal agama, Tuhan,
dan kemanusiaan? Bukankah ada keterangan yang menyatakan bahwa ia telah rujuk
untuk mempelajari Islam yang sesungguhnya? Tulisan ini akan mengupas
pertanyaan-pertanyaan tersebut secara lebih mendalam.
Ketika penulis melansir
beberapa tulisan terkait Raden Ajeng Kartini, beberapa pembaca banyak
mengajukan pertanyaan, bahkan sanggahan Kebanyakan dari tanggapan itu menilai
penulis terlalu tendensius dalam memandang sosok Kartini, terlalu terbuai teori
konspirasi, dan mempunyai motif tertentu dalam mengeritik sosok pahlawan
nasional tersebut. Atas pertanyaan dan sanggahan tersebut, penulis nyatakan
bahwa apa yang penulis lakukan adalah upaya untuk menuliskan sejarah secara
jujur, sejarah yang berangkat dari fakta-fakta yang ada, bukan sejarah yang
ditulis oleh tinta penguasa. Jika pun ada motif tertentu, maka penulis harus
akui bahwa motif itu adalah upaya untuk membongkar selubung “de-islamisasi
fakta sejarah” yang selama ini terjadi dalam sejarah nasional kita.
De-islamisasi yang dimaksud adalah upaya memarjinalkan peran umat Islam dalam
sejarah pergerakan nasional di negeri ini.
Penulis hanya
memaparkan sisi lain Kartini, yang mungkin belum pernah ditulis dalam buku-buku
sejarah (text book) yang diajarkan di sekolah-sekolah kita. Jika
sejarah nasional selama ini menulis kiprah Kartini sebagai ikon kemajuan
perempuan Indonesia yang tercermin dalam surat-suratnya, maka penulis berusaha
menguak sisi lain tentang Kartini secara personal, diantaranya pandangan
keagamannya, latarbelakang pemikirannya, dan siapa saja orang yang berinteraksi
secara intim dengannya. Setelah itu, silakan pembaca sekalian menimbang dengan
jernih tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam penulisan sejarah nasional
negeri ini.
Penulis tak pernah
menyebut Kartini sebagai sosok yang anti-Islam. Bahkan penulis tak pernah
menyebut Kartini sebagai anggota Theosofi, sebuah aliran kebatinan Yahudi yang
pada era 1900-an di Jawa begitu pesat berkembang. Penulis hanya menyatakan, isi
surat-surat Kartini kepada para sahabatnya yang kebanyakan elit-elit Belanda,
sangat kental dengan pemikiran dan paham Theosofi. Diantaranya paham tentang
pluralisme agama, paham tentang Tuhan, dan tentang amal manusia. Kumpulan surat
menyurat Kartini diterbitkan oleh Kartini Fonds pada 1911 di negeri Belanda,
sementara Kartini meninggal pada 1904.
Jika ada yang
mengatakan bahwa kumpulan surat menyurat Kartini yang berjudul ”Habis Gelap
Terbitlah Terang” karena Kartini terinspirasi dari ayat Al-Qur’an yang
berbunyi “Minazhzhulumaati ilaannur”, maka sesungguhnya judul itu
bukanlah dari Kartini, melainkan judul yang dibuat oleh Armijn Pane, sastrawan
yang juga anggota Theosofi. Sementara judul berbahasa Belanda “Door
Duisternis tot Licht” yang diartikan oleh Armijn Pane dengan “Habis
Gelap Terbitlah Terang” adalah judul yang diberikan oleh Abendanon.
Abendanon sendiri mengaku mengambil judul itu dari sebuah syair yang dikutip
oleh Kartini dari seorang wanita tua, yang berbunyi,
“Habis malam terbitlah terang
Habis badai datanglah damai
Habis juang sampailah menang
Habis duka tibalah suka..”
(surat kepada E.C Abendanon, 15
Agustus 1902)
Apakah ada pernyataan
dari Kartini bahwa istilah “Habis Gelap Terbitlah Terang” berasal dari
ayat Al-Qur’an? Pada kenyataannya, istilah “habis gelap menuju terang” juga
digunakan oleh kelompok Freemason ketika membaiat anggota barunya, dengan
mengatakan, “Kalian berada dalam zhulumat (kegelapan), sekarang kami
bawa ke dalam cahaya.” dan pada masa lalu, kelompok rahasia Illuminati di
Hindia Belanda juga disebut sebagai “Kelompok Cahaya” (Lihat, A.D El Marzededeq,
Jaringan Gelap Freemasonry dan Perkembangannya sampai ke Indonesia, Bandung:
Syamil, 2007 dan Freemasonry Yahudi Melanda Dunia Islam, Bandung: Gema
Syahidah, 1993)
Ada yang menyebut
pandangan keagamaan Kartini sudah berubah, dari kebatinan-sinkretis ala
Theosofi kepada keyakinan Islam yang sesungguhnya karena pertemuannya dengan
Kiai Soleh Darat di Demak. Meskipun tak ada keterangan pasti mengenai seberapa
intim interaksi Kartini dengan Kiai Soleh Darat. Namun yang pasti, Kartini
mengaku bertemu Kiai Soleh Darat pada 1903, dan pada tahun yang sama kiai
tersebut meninggal dunia. Kartini sendiri meninggal dunia setahun kemudian,
pada 1904. Fakta lain, meskipun sudah berinteraksi dengan Kiai Soleh Darat,
namun tak ada dokumen yang menunjukkan bahwa Kartini mengoreksi pemahamannya
selama ini tentang agama, Tuhan, dan kemanusiaan.
Jika ada yang
mengatakan Kartini sangat menolak Kristenisasi, maka penulis berpendapat,
penolakan itu semata-mata karena cara yang digunakan misionaris tersebut, dan
penolakan itu juga berdasarkan pemahaman Kartini bahwa agama apapun tak boleh
mendominasi keyakinan seseorang, karena agama manapun pada hakekatnya sama,
selama menebarkan kebajikan. Ini tercermin dalam suratnya kepada E.C Abendanon,
31 Januari 1903, ”Kalau orang mau juga mengajarkan agama kepada orang Jawa,
ajarkanlah kepada mereka Tuhan yang satu-satunya, yaitu Bapak Maha Pengasih,
Bapak semua umat, baik Kristen maupun Islam, Buddha maupun Yahudi, dan
lain-lain.”
Juga surat kepada
misionaris Dr N Adriani, 5 Juli 1903 yang berbunyi, ”Tidak peduli agama apa
yang dipeluk orang dan bangsa apa mereka itu. Jiwa mulia akan tetap mulia juga
dan orang budiman akan budiman juga. Hamba Allah tetap dalam tiap-tiap agama,
dalam tengah-tengah segala bangsa”. Pada surat-surat lainnya, Kartini
mengatakan bahwa agama yang sesungguhnya adalah kebatinan dan kasih sayang.
Keyakinan seperti ini sama persis dengan apa yang menjadi dasar keyakinan
Theosofi, bahwa tidak ada agama yang lebih tinggi daripada kebenaran atau
kebajikan (There’s No Religion Higher than Truth). Dan, sekali lagi,
di akhir hayatnya tak ada keterangan yang menunjukkan bahwa Kartini mengoreksi
keyakinannya tersebut.
Kartini memang mengakui
bahwa alangkah bebalnya dan bodohnya ia karena tidak melihat ada kekayaan
yang menggunung yakni Islam. Itu dikatakan dalam suratnya pada 15 Agustus 1902.
Namun setahun kemudian, pada 5 Juli 1903, Kartini menulis surat pada E. C
Abendanon bahwa Tuhan orang Islam dengan tuhan-tuhan agama lain adalah satu dan
sama. Ini adalah keyakinan unity of god (kesatuan Tuhan) yang
sering dikampanyekan oleh kelompok Theosofi dan kelompok liberal, bukan
keyakinan tauhid sebagaimana ditulis oleh voa-islam.com dalam artikel
"RA Kartini pun Menolak Masuk Kristen dan Menentang Politik
Kristenisasi".
Dalam keyakinan
kelompok Theosofi dan kelompok liberal saat ini, Tuhan kita dengan tuhan agama
lain hanya beda nama saja, namun pada hakekatnya sama. Orang Islam menyebutnya
Allah, orang Yahudi menyebutnya Yahweh, orang Hindu menyebutnya "Sang
Hyang Widi", dan lain-lain. Jadi, menurut mereka, Tuhan kita cuma
beda nama saja. Inilah yang juga menjadi keyakinan Kartini sebagaimana
tercermin dalam surat-suratnya.
Jadi, melihat
latarbelakang pemikirannya, penolakan Kartini terhadap Kristenisasi menurut
hemat penulis, semata-mata didasarkan bahwa tidak boleh agama manapun
mendominasi kebenaran agama lain dan memaksa masuk agama lain, karena menurut
Kartini semua agama pada hakekatnya sama, jadi tak perlu memaksa-maksa orang
untuk pindah agama. Coba perhatikan surat Kartini kepada misionaris Dr. N
Adriani, tertanggal 5 Juli 1903 di atas.
Kartini memang belajar
Islam iya. Belajar Qur'an iya. Belajar dengan Kiai Soleh Darat iya. Namun, ia
tak pernah mengoreksi pemahamannya tentang Pluralisme, tentang konsep
Ketuhanan, tentang agama, dan tentang kemanusiaan. Sampai akhir hayatnya,
pemikiran beliau yang sangat Theosofis, tidak dikoreksi. Surat Kartini yang
menentang Kristenisasi ditulis pada 1902, namun anehnya pada 1903 Kartini
menulis surat yang berisi pemahamannya yang sangat Theosofis.
Sebagai sesama Muslim,
tentu kita berharap Kartini meninggal dalam keadaan sempurna keislamannya dan
membuang jauh-jauh keyakinan yang menyimpang soal keagamaannya. Namun, karena
ia merupakan sosok pahlawan nasional milik bangsa ini, maka sudah seharusnya
masyarakat tahu secara lebih mendalam tentang siapa Kartini sesungguhnya,
bagaimana pemikiran dan keyakinannya, dan lain-lain. Jika penulis menduga ada
campur tangan kolonialis dalam upaya memunculkan sosok Kartini sebagai ikon
kemajuan perempuan Indonesia, hal ini tak berlebihan, mengingat elit-elit
Belanda lah yang pertama kali memunculkan sosok Kartini dan mendirikan lembaga
Kartini Fond di Belanda pada 1911 yang bekerja memasarkan gagasan-gagasan
Kartini. Upaya kolonialis untuk menonjolkan sosok Kartini juga dilakukan untuk
menunjukkan bahwa Politik Etis dan Politik Asosiasi yang dilakukan Belanda
berhasil mendidik pribumi menjadi sosok yang terdidik, modern, dan berpikiran
maju sesuai dengan cita-cita humanisme.
Surat Kabar Nieuw
van den Bag, pada 1914, memuat komentar pembaca yang mempertanyakan sikap
elit-elit Belanda yang begitu getol memperkenalkan sosok Kartini. Surat
tersebut menyatakan, ”Kalau Kartini berjuang buat bangsanya, mengapa kita
(Belanda) yang mesti ribut-ribut memperkenalkannya kepada masyarakat? Mengapa
mesti kita juga yang keluarkan duit buat biayai sekolah-sekolah Kartini?
Biarlah mereka usahakan dan kerjakan sendiri!”
Agama Kartini Dalam Sorotan
Seperti pernah penulis
paparkan pada tulisan berjudul “Kartini dan Para Yahudi Belanda”,
kebanyakan dari sahabat-sahabat Kartini adalah orang-orang Yahudi Belanda
penganut paham sosialisme-humanisme. Interaksi Kartini yang berlangsung lewat
surat menyurat dan kiriman-kiriman buku berlangsung secara intens. Diantara
buku yang pernah dibaca Kartini dari sahabatnya adalah buku berjudul “Droomen
van het Ghetto” (Impian dari Ghetto). Buku karya Zangwil ini berisi
tentang keadaan sosial yang sangat buruk, yang dialami oleh orang-orang Yahudi
di perkampungan-perkampungan Yahudi di Inggris.
Kartini juga melahap
habis buku-buku karya perempuan aktivis feminis-sosialis, seperti Goekoop de
Jong, Cornelie Lydie Huygens, Marcel Prevost, Helena Mercier, dan lain-lain.
Menurut keterangan, buku-buku inilah yang menjadi sumber inspirasi perjuangan
emansipasi perempuan yang disuarakan Kartini. Sahabat Kartini, Stella
Haarshalts Zeehandelaar, adalah perempuan Yahudi aktivis feminis-sosialis yang
cukup radikal. Dalam biografi berjudul ”Panggil Aku Kartini Saja”
Pramoedya Ananta Toer menggambarkan sosok Stella berikut ini:
”Estella Zeehandelaar adalah seorang gadis Yahudi Belanda dengan pandangan hidup sosialis yang berapi-api. Ia tidak menyetujui kalau Kartini masuk ke dalam dunia keagamaan. Stella mempengaruhi Kartini dalam pandangan hidup, bahwa kebajikan bukanlah barang monopoli kaum agama, karena orang pun –dan terutama sekali—dapat lakukan kebajikan karena perasaan tanggungjawab kepada sesama, karena nuraninya sendiri.” (Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Lentera Dipantara, 2010, Cet. Kelima, hal. 212).
”Estella Zeehandelaar adalah seorang gadis Yahudi Belanda dengan pandangan hidup sosialis yang berapi-api. Ia tidak menyetujui kalau Kartini masuk ke dalam dunia keagamaan. Stella mempengaruhi Kartini dalam pandangan hidup, bahwa kebajikan bukanlah barang monopoli kaum agama, karena orang pun –dan terutama sekali—dapat lakukan kebajikan karena perasaan tanggungjawab kepada sesama, karena nuraninya sendiri.” (Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Lentera Dipantara, 2010, Cet. Kelima, hal. 212).
Gambaran Pram tentang
sosok Stella jelas menunjukkan bahwa sahabat Kartini tersebut seorang humanisme
sejati. Stella dengan jelas, sebagaimana menurut Pram, menyatakan bahwa tanpa
beragama pun seseorang bisa melakukan kebajikan dan mengabdi kepada
kemanusiaan. Bagi orang yang berpaham seperti ini, menjadi atheis pun tak
masalah, tak beragama pun tak masalah, selama masih bisa mengabdi kepada
kemanusiaan. Inilah yang menjadi doktrin tertinggi kelompok Freemason dan
Theosofi, yang ujung-ujungnya ingin menghapus peran agama dan menghapus
kepercayaan terhadap Tuhan. Manusia dibiarkan hidup dengan mengandalkan naluri
kemanusiaanya saja, yang dalam Islam jelas sangat terbatas dan nisbi.
Pramoedya alias Pram
menilai Kartini sebagai sosok humanis, yang meyakini bahwa tugas manusia adalah
menjadi manusia. Bagi Kartini, kata Pram, semua agama sama. Pandangan ini
adalah wujud dari daya sinkretik yang tertanam pada jiwa Kartini yang menilai
manusia pada amalnya, pada sesamannya, pada kemanusiaan, bukan pada agamanya.
Kartini, tegas Pram, adalah seorang humanis yang melihat segala sesuatu dari
sisi kepentingan kemanusiaan. ”Humanis memandang, tanpa kemanusiaan dalam batin
manusia itu sendiri, agama tidak bakal memenuhi gunanya,” jelas Pram yang dikenal
sebagai aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah lembaga underbouw
Partai Komunis Indonesia.
Penilaian Pram tentu
bukan tanpa alasan. Paham humanisme begitu kental dalam surat Kartini kepada
E.C Abendanon, 15 Agustus 1902. Kartini menulis, “Tuhan kami adalah nurani,
neraka dan surga kami adalah nurani. Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah
yang menghukum kami. Dengan melakukan kebajikan, nurani kamilah yang memberi
kurnia.” Tulisan Kartini jelas mengacu pada keyakinan bahwa tak ada hukum
Tuhan, yang ada adalah “kodrat alam”. Sebuah keyakinan yang pada masa lalu
begitu mengakar dan menjadi keyakinan dari organisasi-organisasi bercorak
Jawanisme-Kebatinan, seperti Taman Siswa, Tri Koro Dharmo, dan Boedi Oetomo.
Apa yang menjadi dasar keyakinan
Kartini, sesungguhnya adalah landasan inti dari paham humanisme, yang tak lain
merupakan doktrin tertinggi dari Theosofi dan Freemason. Pramoedya kembali
menuturkan tentang sosok Kartini:
“Ia adalah seorang yang religius,
tanpa berpegang pada bentuk-bentuk keibadahan ataupun syariat. Jadi ia termasuk
golongan Javanis Jawa, atau golongan kebatinan, dimana Tuhan dipahami sebagai
sumber hidup, yang mengikat setiap orang dengan-Nya, tak peduli apapun agama
yang dianutnya, bahkan juga bagi si atheis sekalipun….ia (Kartini, red) dapat
menerima agama apapun, dan ia tidak dapat menerima pemutarbalikkan atas agama
apapun. (Hal: 260-261).
Sebagai catatan, Tuhan yang disebut sebagai sumber hidup yang mengikat dalam keyakinan kebatinan Jawa, termasuk dalam pemahaman Theosofi adalah Tuhan yang menyatu, manunggal dengan sang hamba (manunggaling kawula gusti). Paham ini berkeyakinan, inti hidup seseorang adalah berbuat kebaikan, sebagai wujud dari implementasi sifat Ketuhanan yang menyatu (imanen) dengan sang makhluk. Mereka menyebutnya sebagai pancaran ilahi, pletik Tuhan, dan dalam bahasa Inggris disebut dengan “God in being”. Karena itu, aliran kebatinan-Theosofi berkeyakinan, agama apapun, selama menebarkan kebajikan, maka pada hakekatnya sama.
Sebagai catatan, Tuhan yang disebut sebagai sumber hidup yang mengikat dalam keyakinan kebatinan Jawa, termasuk dalam pemahaman Theosofi adalah Tuhan yang menyatu, manunggal dengan sang hamba (manunggaling kawula gusti). Paham ini berkeyakinan, inti hidup seseorang adalah berbuat kebaikan, sebagai wujud dari implementasi sifat Ketuhanan yang menyatu (imanen) dengan sang makhluk. Mereka menyebutnya sebagai pancaran ilahi, pletik Tuhan, dan dalam bahasa Inggris disebut dengan “God in being”. Karena itu, aliran kebatinan-Theosofi berkeyakinan, agama apapun, selama menebarkan kebajikan, maka pada hakekatnya sama.
Masih soal pandangan
keagaaman Kartini, Raden Mas Notosoeroto dalam “De Gedachten van R. A
Kartini als Richtsnoer voor de Indische Vereeniging” sebagaimana dikutip
Pram dalam biografi Kartini, menulis:
“Perasaan keagamaan Kartini nampak
pada keteguhan imannya, dalam mana ia terdidik. Tetapi suatu keteguhan yang
berbarengan dengan pengertian yang lembut, dimana sekaligus diberikan tempat
yang luas bagi kebajikan agama-agama lain. Penghargaan ini menyebabkan kalbunya
tidak membeku dalam dogma-dogma kaku, tetapi menyebabkan ia menjadi lebih kaya
dan membuat ia mengerti Quintessence atau inti setiap religi: Kebajikan dan
cinta sesama. Dari bagian kehidupan kalbunya ini kita dapat mengenal
garis-garis watak Kartini, yang menyebabkan ia menjadi permata toleransi,
kesadaran harga diri, dan penghargaan terhadap kebajikan yang juga berasal dari
orang-orang lain…” (hal.263)
Mr. Conrad Theodore van
Daventer, tokoh Politik Etis yang juga penggagas Kartini Fonds, menulis tentang
apa sesungguhnya Tuhannya Kartini. Daventer menulis dalam Majalah De Gids,
September 1911, berikut ini:
“Kalau orang hendak tahu tentang
Tuhannya Kartini, ya, dialah yang Tertinggi tanpa batas, yang menyebabkan
orang-orang Islam, Kristen, dan Yahudi, bersaudara satu dengan yang lain, yang
menyebabkan juga orang-orang Brahma, bahkan juga orang kafir dijiwai dan bahwa
kebajikan dan cinta merupakan ketentuan-ketentuan yang terutama.Kepercayaan
kepada Tuhan itulah yang terutama baginya, keibadahan hanya soal tradisi.
Sebagai seorang yang terdiri secara Islam, ia (Kartini, red) ingin tetap
menjadi Islam, sekalipun ia tidak buta terhadap beberapa kelemahan ajaran itu,
karena bentuk kepercayaan itu baginya akhir-akhirnya adalah soal kedua, dan
setiap bentuk itupun punya kelemahan sendiri…” (hal. 263-264).
Van Daventer ingin
menggambarkan bahwa yang terpenting adalah aspek Ketuhanan Yang Satu antara
setiap agama, yang disebut dengan aspek batin (esoteris), sedankan
soal ibadah lahir (eksoteris) hanyalah tradisi yang berbeda-beda antar setiap
agama. Keyakinan ini juga sama persis dengan apa yang ditulis oleh Kartini
dalam surat tertanggal 31 Januari 1903, yang berbunyi, “Agama yang sesungguhnya
adalah kebatinan, dan agama itu bisa dipeluk sebagai Nasrani, maupun Islam, dan
lain-lain…”
Sejarawan Asvi Warman
Adam dalam sebuah artikelnya berjudul “Agama Kartini” menyimpulkan
bahwa tak penting apa agama Kartini, yang penting adalah gagasan dan ide dia
tentang emansipasi. Pendapat ini tentu janggal, karena agama dan keyakinan
seseorang jika benar-benar dihayati dan diamalkan sangat mempengaruhi
pemikiran, perilaku, gagasan-gagasan, dan lain sebagainya. Karena itu, sangat
penting mengungkap lebih dalam tentang agama dan keyakinan serta orang-orang
yang berada di sekeliling Kartini, karena dari latarbelakang itulah
gagasan-gagasannya muncul dan disebarluaskan.
Pengaruh Theosofi
terhadap Kartini juga bisa dilihat dari kedekatannya dengan Josephine Hartseen,
sahabat masa remaja Kartini. Seperti keterangan yang ditulis oleh Pramoedya,
Josephine adalah orang yang mengajarkan kepada Kartini ajaran-ajaran tentang
Theosofi dan spiritisme. Joshepine, menurut keterangan Pram adalah anggota
Theosofi. Sebagaimana juga keterangan Ridwan Saidi dalam buku Fakta dan
Data Yahudi di Indonesia, yang menyebut Josephine sebagai orang Yahudi
yang diplot untuk mendekati Kartini. Sementara H.H van Kol, elit kolonial yang
dalam keterangannya disebut sebagai orang yang mengajarkan ilmu okultisme pada
Kartini, adalah sosok yang mendapat rekomendasi dari Stella Zeehandelaar untuk
mendekati Kartini. Intinya, mereka yang merapat pada sosok Kartini adalah;
Yahudi, penganut Theosofi, pelaku okultisme dan sipitisme, dan aktivis
sosialis.
Jadi, tentu ada kaitan
antara agama dan latarbelakang Kartini dengan gagasan-gagasanya selama ini,
terutama tentang emansipasi. Namun sayang, gagasan-gagasannya soal agama,
Tuhan, dan kemanusiaan, tak pernah diungkap dalam buku-buku sejarah di sekolah.
Seolah, tak penting apa agama dan keyakinannya, yang penting pemikirannya soal
emansipasi. Rakyat Indonesia dipaksa mengidolakan seseorang tanpa perlu
mengetahui bagaimana kepribadian dan latarbelakang orang tersebut. Tulisan ini
membuka ruang bagi siapapun untuk menyanggah dan menghadirkan data-data dan
fakta lain tentang sosok Kartinin. Tujuannya, agar sejarah tak lagi samar oleh
kabut kekuasaan!
Penulis bersedia rujuk,
jika ada data dan fakta lain yang bisa dipertanggungjawabkan terkait keyakinan
Kartini soal agama, Tuhan, dan kemanusiaan. Hal yang perlu dicatat, penulis tak
pernah menyebut Kartini sebagai sosok yang anti-Islam, namun penulis dengan
tegas menyebut Kartini sebagai sosok yang pemikirannya berseberangan jauh
dengan akidah Islam sebagaimana tercermin dalam surat-suratnya. Mengapa penulis
menganggap penting untuk mengetahui apa sesungguhnya latarbelakang keyakinan
Kartini? Karena Kartini adalah sosok yang dijadikan pahlawan dan pejuang
perempuan negeri ini. Sosok yang dijadikan panutan, tentu harus benar-benar
jelas tentang apa keyakinan dan latarbelakang kehidupannya.
Adapun mengenai keterangan bahwa di akhir hayat Kartini kembali dalam pangkuan Islam yang sesungguhnya, penulis ingin meminta bukti, adakah di akhir hayatnya Kartini mengoreksi pemahamannya yang sangat kental dengan keyakinan kebatinan-Theosofi? Adakah keterangan yang menyebutkan bahwa Kartini tak lagi menganggap semua agama sama, Tuhan kita sama dengan tuhan agama lain, neraka dan surga tidak ada, agama yang sesungguhnya adalah kebajikan? Keyakinan inilah yang sungguh berseberangan jauh dengan akidah Islam!
RA Kartini pun Menolak Masuk Kristen & Menentang Politik
Kristenisasi
Menarik
apa yang ditulis sejarawan Muslim Indonesia Ahmad Mansur Suryanegara dalam
bukunya Api Sejarah tentang penolakan Raden Ajeng (RA) Kartini terhadap
politik Kristenisasi di Tanah Jawa. Tak banyak buku sejarah yang mengungkap hal
ini. Boleh jadi, pihak Barat dan kaum sekuler sengaja menutup-nutupi fakta
sejarah ini. Setidaknya ini membuka cakrawala baru bagi penikmat sejarah.
Siapa
nyana, RA Kartini pernah menolak ajakan sahabat penanya Ny. Van Kol --
asal Belanda itu -- untuk memeluk agama Kristen. Bagi Kartini, beragama
Kristen sangat merendahkan derajatnya. Ini, bukti, Kartini memiliki ketauhidan
(Islam) yang sangat kokoh, ketika itu.
Dari
surat-suratnya yang dikenal dengan Habis Gelap Terbitlah Terang (Door
Duisternis tot Licht), ternyata RA Kartini tidak hanya menentang adat,
tetapi juga menentang politik Kristenisasi dan Westernisasi. Dari surat-surat
RA Kartini terbaca tentang nilai Islam dimata rakyat terjajah saat itu. Islam
dalam pandangan Kartini adalah martabat peradaban bangsa Indonesia. Sebaliknya,
Kristen dinilai merendahkan derajat bangsa, karena para gerejawannya memihak
kepada politik imperialisme dan kapitalisme.
Ketika
Ny. Van Kol mengajaknya untuk masuk agama Kristen, Kartini menolaknya, seraya
mengatakan, “Yakinlah Nyonya, kami akan tetap memeluk agama kami yang sekarang
ini (Islam).” Selanjutnya, Kartini berbalik mengingatkan Ny. Van Kol agar Barat
dapat bertoleransi terhadap agama Islam.
Suratnya
kepada E.C Abendanon dalam Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini juga
mengingatkan: “Zending Protestan jangan bekerja dengan mengibarkan panji-panji
agama. Jangan mengajak orang Islam memeluk agama Nasrani. Hal ini akan membuat
Zending memandang penduduk Islam sebagai musuhnya. Dampaknya, semua agama akan
menjauhi Zending.”
Mengapa
demikian? RA Kartini menjelaskan, “Orang Islam umumnya memandang rendah kepada
orang yang tadinya seagama dengan dia, lalu melepaskan keyakinannya sendiri
memeluk agama lain.”
Kartini
mengatakan,”Karena yang dipeluknya agama orang Belanda, sangka dia sama tinggi
derajatnya dengan orang-orang Belanda.” Yang menarik, Kartini memberi petunjuk
kepada Zending Protestan, agar Zending mengajarkan ketauhidan seperti yang
telah melekat pada keimanan Islami di hati bangsa Indonesia. “Janganlah
menasranikan orang,” kata Kartini 31 Januari 1903 M.
Kekaguman
Pada Al-Qur’an
Sikap
Kartini yang istiqamah, nampak setelah ia membaca Tafsir Al-Qur’an.
Kekagumannya terhadap nilai ajaran Al-Qur’an dituturkan kepada E.C Abendanon:
“Alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada melihat, tiada tahu, bahwa
sepanjang hidup ada gunung kekayaan di samping kami”.(15 Agustus 1902).
RA
Kartini menilai Al-Qur’an sebagai gunung kekayaan yang telah lama ada
disampingnya. Akibat pendidikan Barat, Al-Qur’an menjadi terlupakan. Namun,
setelah Tafsir Al-Qur’an dibacanya, Kartini melihat Al-Qur’an sebagai gunung
keagungan hakikat kehidupan.
RA
Kartini dengan surat-suratnya memberikan gambaran, bahwa agama Kristen atau
Katolik tidak mendapatkan tempat di hati rakyat Indonesia. Hal ini disebabkan
Agama Protestan sebagai agama penjajah Belanda. Demikian pula Katolik
dikembangkan oleh penjajah Portugis, sebelum penjajah Protestan Belanda.
“Jika
demikian faktar sejarah yang sebenarnya, timbul pertanyaan, apakah benar teks
dalam Diorama Monumen Nasional, Katolik dan Protestan sebagai pemersatu
bangsa?” tanya Ahmad Mansur Suryanegara, sejarawan Muslim asal Bandung itu.
Ahmad
Mansur sangat menyayangkan jika umat Islam di Indonesia belum menggali sejarah
bangsanya sendiri, terutama ulamanya. Kata Mansur, Ulama hanya mampu membaca
abunya sejarah, tetapi tidak dapat menangkap apinya sejarah. Para ulama selalu
disibukkan oleh masalah fiqhiyah, sehingga membiarkan masalah distorsi
penulisan sejarah di sekitarnya tak terjawab.
Akibatnya,
pemerintah kolonial Belanda lah yang mengadakan pemugaran dan penulisan sejarah
Indonesia dengan penyimpangan-penyimpangannya. Termasuk mengagung-agungkan
kisah masa jaya dan keemasan Hindu dan Buddha. Bahkan kolonial Barat berusaha
memadamkan cahaya Islam melalui penulisan sejarah yang sengaja digelapkan.
“Melalui
interpretasi sejarah, pemerintah Kolonial Belanda mencoba membentuk opini
public bangsa Indonesia agar berpendapat bahwa Islam sebagai agama asing dari
Arab, dan kedatangan Islam dianggap merugikan bangsa Indonesia. Sebuah
penulisan sejarah yang keliru besar,” kata Mansur.
Menurut
Mansur, RA Kartini benar-benar memperjuangkan anak bangsa agar memperoleh
kesempatan pendidikan, sekalipun bukan dari suku Jawa. Lagi pula RA Kartini
bukan dari kalangan Kejawen. Kebangkitan juangnua sangat dipengaruhi oleh
ajaran Al-Qur’an. Lingkungan kehidupan Kabupaten Jepara merupakan medan
persemaian tumbuh kembangnya ajaran Islam di kalangan Bupati yang berpikiran
maju sejalan dengan gerakan kaum muda.
Terlepas
dari kritikan yang menyebut alam pemikiran Kartini sangat bercorak Theosofi,
sebuah organisasi kebatinan Yahudi yang keberadaannya sempat dilarang oleh
pemerintah RI. Setidaknya apa yang diungkap sejarawan Muslim Ahmad Mansur
Suryanegara adalah sisi lain sosok Kartini yang tak banyak diungkap sejarawan
lain, bahwa ia pernah menolak ajakan Ny. Van Kol untuk masuk agama Kristen dan
menentang politik Kristenisasi dan westernisasi di negeri ini. Wallohu’alam
bisshowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar